by Chasif |
Di mahathah sayedah
aisyah. Salah satu halte yang ada di daerah setelah qal’ah (benteng_red) Shalahuddin al-ayubi Cairo Mesir, Kami
mengucapkan salam perpisahan. Mutiara yang berjatuhan dari mata bening ini menghalangi
pandanganku tuk terakhir kali menatapnya. Pesawat akan take off jam
20.00 waktu Cairo. Tetapi aku hanya dapat mengantarkannya sampai mahathah. Karena aku harus talaqi wajib dengan syekh Muhammad Yusuf
malam nanti. Dia semakin jauh bersama bus yang membawanya ke Mathar al-Qahirah al-Duwaliy (Cairo
International Airport_red).
Pandangan ini semakin kabur karena terlalu jauh lensaku tuk
menangkap cahayanya. Cahaya seorang laki-laki yang kukagumi dan berharap
menjadi imamku di dunia dan pendampingku di akhirat kelak. Meski berat
meninggalkannya, tapi tak mungkin lagi tanganku meraihnya. Hatiku terus
melambai. Jantungku berdetak tak begitu teratur. Nafasku sedikit sesak. Sekali
sesenggukan dan sampaikan salam perpisahan.
###
Jeda waktu yang kian lama memisahkan dua insan. Dia di Busan,
Korea. Sebuah kota terbesar kedua setelah Seoul. Busan merupakan kota pelabuhan
terbesar di daerah selatan semenanjung korea, bahkan di sana terdapat pasar
ikan terbesar bernama Jagalchi Sijang. Sama sepertiku. Dia meninggalkan tanah
airnya. Tetapi dengan tujuan yang berbeda. Dia melanglang ke negeri orang untuk
mengamalkan ilmunya, sekaligus mengajar di salah satu Universitas terkenal di
Korea. Sedangkan Aku di Cairo, Mesir. Masih menuntut ilmu di Kulliyat at-Thibb (Fakultas Kedokteran)
di Universitas tertua di dunia, al-Azhar. Dan menyelesaikan hafalanku dengan
syekh Ali al-Sadawiy.
###
Kerinduan dari hati yang teramat dalam untuk seseorang yang sudah
satu tahun berpisah membuat pertemuan ini menjadi lebih indah. Moment ini kan
menjadi memoar yang terus termemori.
Sebelum kami berpisah, kami menghabiskan waktu bersama di serambi
masjid yang kubahnya berbentuk perahu. Entah apa filosofinya, aku tidak begitu
tahu. Ya. Masjid imam syafi’i yang terletak di syari’ el-imam al-syafi’i. Nama suatu jalan raya di
sana. Setelah itu kami pun berziarah (mengunjungi_red) makam syekh Zakaria
al-anshary. Tidak asing lagi. Beliau adalah pengarang kitab fathul wahab yang
pernah kami pelajari dulu waktu masih aliyah. Letaknya pun tidak jauh dari
maqam Imam Syafi’i rahimahullah.
Di math’am (restoran_red)
seberang jalan dari masjid. Seteguk ‘asyir mangga (juz mangga_red) mengobati
rasa haus kami karena seharian menjelajahi kota Cairo yang lumayan panas.
Setelah berjalan jauh melihat keindahan arsitektur masjid-masjid
para Ulama’ besar Kami pun beranjak. Kemudian kami naik bus. Cukup dengan
ongkos satu pound. Kalau dirupiahkan sekitar 15000 rupiah. Kami melanjutkan
perjalanan mengunjungi makam syekh Ibnu Athaillah As-Sakandary. Ulama’ besar, pengarang
kitab al-Hikam. Kitab tasawuf terkenal.
“mas.. diluar masjid ini ada mihrab sayedah nafisah. Beliau juga
ahlul bait nabi. Menurut sejarah sayedah Nafisah ini keturunan nabi yang
keenam. ”, aku bercerita dengan penuh semangat.
“tidakkah dik Reiha tau?
perjalanan kita ini menjadi saksi kebersamaan kita di negeri seribu menara
ini..”, ucap dia sambil tersenyum menikmati keindahan masjid.
“iya mas.. dulu saya pernah bermimpi akan mengajak mas Han untuk
mengunjungi tempat-tempat penuh sejarah ini. Sekarang saya dapat mewujudkan
mimpi itu.. hmm rasanya senang sekali..”,dengan senyum bahagia dan menatap
langit cairo yang mulai menguning.
“Terima kasih dik Reiha.. kamu telah hadir dalam hidupku. Kamu juga
telah menjadikan hidup ini penuh makna. Oh ya, salam rindu dari ibu dik.. ibu
selalu menanyakan kapan kita akan menikah?”, tanya mas Han’.
Ziya’ul Hannan nama lengkapnya. Laki-laki yang telah mengkhithbahku
setengah tahun yang lalu.
Aku tertunduk.
“ya mas.. ‘alaika wa’alaihassalam.. insyaAllah. Saya
menyelesaikan S2 saya dulu. Jika mas Hannan masih berkenan untuk menunggu saya, saya akan menjaga
kepekatan cinta ini. Tapi jika mas ingin mencari wanita lain, mmm tolong kabari saya. Biar saya
menata hati dulu agar dapat mengikhlaskannya.” Jawabku dengan nada semakin pelan.
“Ssstt.. aku
akan menantimu.
InsyaAllah..”, jawabnya meyakinkanku.
Cahaya senja nampak memerah. Adzan maghrib terkumandangkan di
berbagai puncak menara masjid. Kami menunaikan shalat maghrib berjama’ah di
masjid Ibnu ‘Athaillah as-Sakandary. Disinilah terakhir kami bertemu.
Mencoba
menatap cakrawala
Aroma senja
dan siluet sang surya menyapa
Gemericik
air memanggil
Hariku
sejenak menjadi lentera
Riuh ruah
malam yang masyghul dengan ayat-ayatNya
Indah..
namun bernada fana. Kadang..
Berhenti
tanpa memberi makna...
Bila waktu
tlah menggenggam setiap nafas dan jeda
Entah
berapa lama ia akan terpendam?
Rasa itu
seperti lautan
Sedangkan
pikiran adalah mutiaranya.
Angan itu
seperti awan yang mengandung beban airnya
Menjadi
hujan untuk memberi kehidupan. Tetapi…
Aku sebatas
tinta yang terpercik menyaksikannya
Mengapa
terbentang seribu tabir antara mata dan hati?
Andai
eliksir kehidupan mampu menetralisir
Semuanya
tak akan seperti ini..
Rentetan
asa yang menggantung bersama nyanyian malam, mencipta
ornamen-ornamen
kehidupan..
Jika pelita
mengambil cahaya dari rembulan
Izinkan aku
mengambil secercah cahaya darimu wahai asa
.Senja di
Alexandria, 25 Agustus 2013
Ya Moqallibal Quluub.. Di tengah
munajatku ini aku mohon kuatkan hatiku untuk setia menjalani penantian ini.
Bisikkanlah padanya agar selalu mengingatku di selesai munajatnya pada-Mu.
Bukan berarti cinta-Mu terbagi karena keberadaannya. Namun cintaku untuknya
semoga semakin mendekatkanku memperoleh ridla-Mu..
Komentar
Posting Komentar