Hari minggu, tapi seperti bukan weekend. Dari pagi sudah sibuk dengan urusan rumah tangga. ups. nyuci dkk maksudnya. Setelah itu diundang tasyakuran kakak kelas dokter yang baru wisuda. Lanjut ke wisudaan temen. eh ternyata rizki hari ini masih mengalir. Tepatnya setelah maghrib ada acara tasyakuran teman yang tadi wisuda. Alhamdulillah.. Ngganjel perut hari ini tidak mengeluarkan isi dompet, kecuali buat ngangkot..heheh

Bukan itu inti cerita tulisan ini. Next, sebelum berangkat ke TKP seperti biasa ngumpul dulu nunggu tukang ojek eh. maksudnya nunggu boncengan temen. Eh dapet cerita. Tadi sore, temen-temen habis sowan ke ustadz S. Ceritanya anjang sana (bahasa dulu waktu sekolah). Salah satu dari mereka cerita, katanya -kurang lebih begini- "saya salut sama siapa itu namanya, (menyebut nama saya), dari (bawa-bawa nama fakultas) tapi bisa menyelesaikan takhrij tepat waktu, tebel lagi takhrijnya. Saya bukan membanding-bandingkan. Tapi saya tau koas (pendidikan profesi maksudnya) itu tugasnya banyak belum lagi harus pergi kesana kesini, pindah rumah sakit. Saya menyesal (katanya) baru dapat cerita dari ustadz A setelah saya mengujinya. Coba kalau sebelum itu, saya beri nilai +". Setelah itu, ada 3 temen lagi yang mengulang cerita ini ke saya. Ada yang sambil ng-cie2-in. Secara non verbal ada yang bener-bener ikut seneng, ada juga ya yang agak ngeledek. eh, bukan suudzdzon. Tapi bahasa non verbal itu tidak bisa dibohongi. hmm.

Cerita semacam ini tidak hanya sekali ini. Keberadaan saya disini yang sedikit fenomenal karena belum pernah ada cerita seperti ini sebelumnya juga sempat memunculkan respon dari teman-teman. "Kamu itu istimewa", "Untung nggak dikeluarin", "Harusnya kamu bersyukur nggak dikeluarin", dan seterusnya. Respon-respon seperti ini muncul karena saya diberi kesempatan untuk mengulang semester 8 tahun depan dengan konsekuensi tidak ikut wisuda tahun ini. Pendidikan profesi yang tidak bisa dikompromikan waktunya lagi dengan kegiatan belajar di pondok terpaksa saya diberi pilihan oleh pakyai. Cuti kampus atau cuti pondok. Belum pernah ada cerita pondok kok pake cuti. setelah berbagai pertimbangan akhirnya saya putuskan untuk cuti pondok, tapi tetap menyelesaikan tugas akhir tahun ini. Jadi, istilahnya secara de facto sudah bisa menyandang Lc tapi secara de jure masih menunggu tahun depan karena harus mengulang mudzakaroh dan halaqah semester 8. hihi. Padahal sebenarnya harusnya bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk ngaji, mendengar nasihat2 muhadis yang menyejukkan hati, mendengar cerita2 nabi dan para sahabat, serta tempat tinggal di lingkungan yang baik. Namun, tetap butuh waktu untuk menuju fase acceptance.

Dulu juga pernah, waktu masih masa-masa praklinik. Butuh perjuangan untuk dapat izin meninggalkan ngaji (meskipun waktu itu ngaji udrus) untuk 1 minggu praklinik di serpong. Tapi tetap saja ada konsekuensi yang cukup berat untuk mendapatkan izin. Itupun izin yang tidak sepenuhnya. Izin bersyarat. Serta saya harus membuat surat izin dari kampus. Saya baru bisa meninggalkan halaqah setelah jam 06.00 . Dan saya harus pulang pergi dari pondok ke serpong. Naik angkot sebelum matahari benar-benar terbit. Dari kejadian ini pun muncul iri dari kakak tingkat. hmm

Kenapa se-fenomenal ini mengurus izin di pondok ini? karena di pondok ini, disiplin itu harga mati. Izin tidak sembarangan dan tidak mudah didapatkan.

Saya tidak pernah meminta diistimewakan, saya tidak pernah berharap untuk dianggap lebih. Saya tidak pernah ingin dikenal. Saya juga tidak punya track record yang baik. Saya hanya meminta diakui sebagai santri beliau. Santri yang hanya bisa ngalap berkah karena saking bodohnya. Pesan saya untuk kalian,

Ketika ada orang lain yg 'kalian anggap'  berhasil, coba lihatlah seberapa berat kesulitan yg telah ia hadapi. Ketika ada orang lain yg 'kalian anggap'  istimewa, coba tengoklah seberapa kuat ia harus berjuang untuk bertahan melewati setiap jengkal ujian. Ketika ada orang lain yg 'kalian anggap' beruntung, coba berpikirlah seberapa jauh kakinya telah melangkah untuk sampai pada titik keberuntungan itu. Jangan hanya melihat enaknya saja. Kemudian iri karena karena ia mendapatkannya. Tidak ada keberhasilan yg didapat dengan cuma2.

Oups, tak perlu dilihat semua itu. Biarlah menjadi nikmat bagi yg menjalaninya. Nikmat selama prosesnya. Komentar orang lain cukup dijadikan bumbu saja biar sedap. Terus syukuri saja. Sampai nikmat air mata itu menjadi nikmat mutiara-mutiara. Kelak.

22-5-2016

Komentar