Senja yang selalu membawa kedamaian…
Rangkaian kalimat yang pernah kutulis bersama
bulir-bulir air mata penuh dosa. Bahkan untuk mengetiknya pun aku gerakkan tuts-tuts keybord itu dengan pelan dan penuh
hati-hati, supaya tidak menimbulkan kebisingan. Karena Aku tak ingin mengganggu istirahat mereka. Mereka sudah sangat
lelah. Setiap hari beradu dengan bongkahan batu, bata, semen, dan kawan-kawannya.
Itulah ayahku. Seorang pekerja keras yang tak pernah berkeluh kesah dan putus
asa. Sementara ibu masih sibuk dengan urusan masyarakat. Pulang pergi setiap
hari. Berada di rumah mungkin sekadar beristirahat. Meski demikian, ibu
tidak pernah telat untuk menyiapkan sarapan, makan malam, dan segala pekerjaan
rumah tangga yang begitu banyak dan -tentunya- melelahkan. Bahkan ibu tidak
pernah meminta anaknya untuk menggantikannya. Ibu hanya meminta anak-anaknya
untuk belajar dan mengaji yang sungguh-sungguh. Ayah pergi ketika aku dan
adik-adikku masih terlelap. Dan ketika Ia pulang kami sudah tertidur pulas.
Mereka adalah orang hebat yang Tuhan kirim untuk diriku dan adik-adikku. Orang
yang telah membesarkan dan mendidikku hingga aku menjadi seperti sekarang ini.
Meraih cita-cita dan berharap dapat membahagiakan
mereka. Tetapi sekarang salah satu dari mereka sudah tidak kulihat
lagi senyumnya di depan mataku. Semoga Tuhan memberikan beliau tempat yang
paling indah di sisi-Nya.
Ketika malam kembali dalam peraduannya. Semakin
larut. Sunyi. Redup. Tak ada banyak bintang. Rembulan pun sudah mulai terkikis
oleh hari yg menuju penghujung bulan ini. Pipiku masih basah akan bulir-bulir bening
yang tak henti menetes, meski sudah kuseka berkali-kali.
“selamat tidur nak…”, sambil tangan Ayah
mengelus rambutku.
Ayah mengira aku sudah tidur. Ia
mematikan lampu belajarku yang menyala
sedari tadi. Kemudian Ia bergegas istirahat. Melepas segala penat yang
mengguyur badannya dari pagi hingga sore tadi.
Aku masih terisak. Aku tidak ingin seperti
ini. Aku butuh kasih sayang mereka. Aku butuh pelukan mereka. Meski demikian
aku tak bisa memaksa mereka untuk menemaniku setiap detik. Setiap menit.
Sepanjang hari. Karena mereka harus memeras keringat dan membanting tulang
untuk memenuhi kebutuhan Kami sehari-hari.
Jam menunjukan pukul dua dini hari. Dingin.
Tak ada aktifitas yang dirasa lebih nikmat kecuali meneruskan tidur. Mencari
tambahan selimut. Toh baru jam dua. Masih ada sedikit waktu toleransi sebelum
qiyamullail.
kriyeek… derit pintu terdengar. Beberapa
menit kemudian suara gemericik air di tempat wudhu. Seperti biasa Ayah selalu bangun
-bermunajat kepada Sang Khaliq- disaat yang lain sedang tertidur pulas.
Setiap Orang tua tentu menginginkan
anaknya menjadi orang yang pintar, hebat, yang bermanfaat untuk banyak orang.
Begitu juga dengan Ayahku. Ayahku sangat menginginkan aku menjadi seorang yang
pintar agama dan berencana memasukkanku di pondok pesantren. Sedangkan aku
ingin sekali menjadi insinyur. Sampai tiba saatnya do’aku dikabulkan oleh Allah. Ayah dan Ibu
tak dapat lagi menahan kepergianku ke bumi hijrah. Menjadi seorang insinyur
adalah cita-cita masa kecilku.
Sekarang aku akan
melewati langkah pertamaku. Duduk di bangku kuliah. Salah satu universitas
teknologi terbesar di Indonesia yang ada di ujung timur pulau jawa menjadi
pilihanku mewujudkan cita-citaku.
###
Tiga tahun
kemudian...
Menyaksikan panorama senja di balik
jendela. Sangat indah. Dentangan mega merah di ufuk barat mulai makin terlihat
kabur dan menipis. Burung-burung belibis dengan formasi indahnya usaikan
pengembaraan dan kembali ke sarangnya. Sayup-sayup lantunan qira’ah dari masjid
seberang jalan mulai terdengar.
Senja yang selalu membawa kedamaian...
Tapi aku tak
habis pikir mengapa kupu kuning itu justru baru saja datang dan terbangi
mawar-mawar jingga yang mulai kuncup di halaman kosanku. Dan hal
ini bukan baru kali senja hari ini saja. Tetapi semenjak seminggu yang lalu.
Kau putari dan hinggapi bunga mawar itu. Apa yang ia lakukan sesenja ini?
Pikirku penasaran.
Kupu kuning…
dimanakah engkau pagi tadi? Tanya hati kecilku. Apakah kau bangun kesiangan,
sehingga gantang-gantang madumu tak sempat kau penuhi? Atau adakah sanak
saudaramu yang jatuh sakit, sehingga kamu harus menjaga dan merawatnya? Atau mungkin
terlalu serakah, sehingga manis legitnya madu yang kau dapat dini hari tadi tak
cukup bagimu? Entahlah aku tak tahu jawaban yang pasti. Dan mungkin tidak akan
pernah tahu jawaban pasti itu.
“kriiing... “
handphoneku berdering mengalihkan lamunanku senja ini.
Isak tangis tiba-tiba
terdengar dari handphone tadi. Suara ibu. Ya, itu betul suara ibu.
“wa’alaikumsalam
bu... ada apa bu? Ibu menangis?”, aku semakin gelisah mendengar suara
ibu sekali sesenggukan.
“qi... bbisakah..kamu
pulang malam ini..?”, kata Ibu.
Tuut tuut tuut...
tiba-tiba terputus. Perasaanku semakin tidak enak saja. Aku harus segera pulang.
Kumasukkan beberapa baju ganti ke dalam tas ranselku. Kupencet salah satu nomor
kontak temanku, dan meminta untuk mengizinkan tidak masuk kuliah. Sore itu juga
aku segera meluncur ke terminal dan mencari bus jurusan Semarang.
###
Jam setengah satu
malam aku sampai di Gg. Delima. Gang menuju rumahku. Terdengar suara seperti ada
sekelompok orang yang membaca alqur’an. Namun masih terdengar samar-samar.
Semakin dekat langkahku menuju rumahku semakin terdengar jelas suara itu. Tak
ada lima menit langkah kakiku sampai tepat di depan pintu rumahku. Ternyata
sudah ada banyak orang membaca surat yasin. Linangan air mata dari banyak
pasang mata. Suasana yang menjadi sangat sendu. Ibu merunduk di samping raga
ayah yang sudah pucat. Tak sedikitpun nadinya berdenyut dan tak sedikitpun
nafasnya berhembus. Apalagi bergerak untuk sekadar membuka mata. Aku masih belum percaya. Langkahku terhenti
menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang sama sekali tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Beliau begitu cepat meninggalkan kami.
Aku bergegas
mengambil air wudlu dan bersimpuh di samping Ayah. Kupeluk jasad Ayah yang terbujur kaku. Aku mencoba untuk kuat. Namun
mata ini tak mampu menahan beban berat air yang dikandungnya. Bulir-bulir
bening mengalir dan jatuh di tangan Ayah. Aku berusaha menyekanya. Aku harus
kuat. Karena Aku anak pertama. Aku yang paling dewasa. Jika Aku tidak kuat,
bagaimana dengan adik-adikku. Sepanjang malam Ibu tak bisa berhenti menangis. Aku
terus berusaha menguatkan hati Ibu untuk menerima takdir ini.
###
Beberapa hari masih
dalam masa berkabung...
“Naqi.. ini ada
titipan dari Rere”, kata Naufal sambil menyodorkan kertas tebal berwarna
cokelat muda berbalut sampul plastik bening, bertuliskan kepada : Naqiy
Ziya’il ‘Adn.
Ternyata itu adalah
undangan pernikahan Rere dengan laki-laki yang Aku sendiri tidak mengenalnya.
Rere adalah wanita yang kuharap menjadi pendampingku kelak. Aku sudah
mengenalnya tiga tahun lalu. Keluargaku juga sudah mengenalnya. Aku rasa Rere
tidak mengenal laki-laki itu, karena Rere tidak pernah cerita memiliki teman
yang bernama seperti tertera dalam kertas itu. Beberapa menit kemudian
handphoneku berdering. Sms dari Rere.
“Qi.. Aku mohon maaf
atas semua kesalahanku selama ini. Aku mohon maaf karena Aku telah mengkhianati
janji itu. Bahkan Aku tak bisa mendampingimu di saat Kamu butuh sekali
seseorang tuk bersandar dan menguatkan dirimu tuk melewati ujian hidup yang
sedang menimpamu dan keluargamu. Mungkin setelah ini Aku akan pergi bersama
suamiku. Jika Kamu berkenan hadir di pernikahanku, Aku akan sangat bahagia.
Tetapi jika tidak, sekali lagi Aku mohon maaf Qi.. Aku selalu berdo’a Kamu akan
bertemu dengan wanita terbaik yang akan menjadi pendampingmu dunia dan akhirat.
Salam..”
Rere akan
melangsungkan pernikahan minggu ini. Hari itu akan menjadi hari bahagia bagi
Rere. Bagaimana aku bisa bersedih ketika melihat Rere bahagia? Bukankah
kebahagiaan Rere adalah kebahagiaanku juga? Aku rasa pertanyaan-pertanyaan itu
tak butuh jawaban.
Aku tak tahu seberapa jauh kau merasakan
kehadiranku
Dibalik senyumku masih tersimpan sekian angan
tentangmu
Dibalik sikapku yang tenang masih terlukis
asa untukmu
Dibalik ketegaranku menghadapi kenyataan
seperti masih ada kisah yang kian panjang
dan langkah hidup yang ingin kutapaki
bersamamu..
Namun, sekarang bisik itu hanya bersua di
sudut ruang terindah di bawah jantungku
Meski demikian, aku turut berbahagia
untukmu..
###
Hari ini, 10 Oktober
2012 aku resmi menjadi sarjana teknik. Aku telah menyelesaikan pendidikan Strata
satu di bidang Teknik Industri. Di saat yang bahagia ini aku sangat
menginginkan kehadiran Ayah dan Ibu. Melihatku memakai toga kelulusan. Tetapi
Tuhan telah membuat skenario yang berbeda dari rencanaku. Setidaknya aku masih
memiliki Ibu dan keempat adikku yang menjadi motivasi terbesar dalam hidupku.
Kematian adalah
kebahagiaan bagi sang pencinta untuk menemui yang dicintainya. Semoga Ayah
selalu bahagia di sisi-Nya. Beliau adalah orang yang hebat yang Tuhan kirim
untuk Kami. Namun semenjak peristiwa itu, peristiwa yang tiba-tiba mengubah
keseimbangan hidup, siap tidak siap Aku harus menggantikan peran Ayah. Ayah
sebagai kepala keluarga telah meninggalkan Kami di saat hidup ini butuh sekali
kehadirannya. Yah, sekarang sudah waktunya untuk mengikhlaskan semuanya. Aku yakin
Tuhan memiliki maksud baik yang tak pernah Aku tahu.
###
Keputusanku untuk
meninggalkan lagi tanah kelahiranku tak bisa lagi ditawar. Bahkan lebih jauh
dari tempatku menuntut ilmu. Ya, semua itu demi tanggung jawabku.
Setelah Aku lulus,
kesibukanku adalah memenuhi kewajibanku sebagai tumpuan keluarga. Sambil
melanjutkan studi magister di salah satu Universitas di Jawa Barat. Adikku yang
pertama sudah kuliah semester tujuh Fakultas Ekonomi di Universitas Gajah Mada
. Adikku yang kedua sudah kelas 3 SMA. Sedangkan dua adikku terakhir, mereka
kembar, mereka masih sekolah juga kelas 1 SMP. Begitu berat beban yang harus
aku tanggung.
Syukurku atas Dzat
yang Maha Melapangkan rizki tak pernah lapuk. Atas Ridha-Nya, sampai sekarang
Aku masih mampu berdiri dan meniti tangga kehidupan dan jalan yang kian terjal.
Ternyata satu tahun sudah aku melewati semua itu. Memang satu tahun bukanlah
waktu yang sebentar untuk melewati kesulitan-kesulitan itu di atas kaki
sendiri. Namun, satu tahun juga bukan waktu yang panjang karena –selama jantung
masih berdetak dan nafas masih berhembus- jalan ke depan masih panjang dan
–tentunya- lebih berat.
###
Terang pagi ini
membuatku teringat pada angan itu lagi. Aku tak pernah mengerti tentang apa
yang Kau torehkan. Dan Kau tidak selalu mengerti tentang apa yang Aku
isyaratkan. Sejenak kedekatan
itu memang terasa. Tapi siapa yang tahu jika itu hanyalah fatamorgana? Tentu
tak ada yang tahu. Ketika aku bertanya pada lembaran kertas yang berserak ia
hanya membisu. Kepada awan putih? hanya terdiam. Kepada langit? No comment. Kepada angin yang tiba-tiba berhembus? Ia pun
tak mempedulikanku dengan segenap ketidakjelasanku ini.
Ya Robby…
Aku tidak berharap demikian..
Di tengah suara hatiku yang melulu mengadu
pada-Mu tentang perasaan ini
Jika boleh aku
mengatakan, ”aku ingin bisik hatimu yang sesungguhnya”
Bukan suara hati yang
kau terjemahkan lewat deretan kata yang masih abstrak. Tentu Aku sulit tuk mengertinya.”
Setiap pagi aku
melukiskan, ”kepada embun pagi… beri aku setetes kesejukan..”
-catatan Eba-
4 Juli 2013
###
Semenjak
pertemuan itu, Pertemuan di Salju Panas Tinggi Raja. Objek wisata yang masih
tersembunyi yang berlokasi di Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun,
Sumatera. Sebuah pegunungan sulfur dengan air panas berwarna biru dan gunung
putih. Dan satu lagi gunung sulfur berwarna hijau yang dikelilingi oleh sungai.
Tempat ini kira-kira tiga kilometer dari Medan. Sungguh bukit kapur yang indah
dan menawan. Ketika itu aku menemukan gulungan karton yang jatuh di dekat pagar
jembatan kayu yang aku lewati. Kubuka gulungan itu. Wow, interior design
yang menakjubkan. Sepertinya ini punya seorang arsitek handal. Aku segera
mencari pemilik gulungan karton itu. Mungkin pemiliknya belum jauh.
###
Dia yang kutau
bernama Eba. Theiba Azzabad. Wanita yang telah menumbuhkan kembali getaran
jiwaku. Ia yang hadir bersama sosoknya yang manis, pendiam, hamilul qur'an, dan calon
sarjana arsitektur. Berperawakan agak tinggi semampai. Berjilbab rapih. Selalu
memakai rok panjang. Baju tidak terlalu ketat dan memakai blezer. Dia yang
telah kukenal dua tahun sejak pertemuan di Salju Panas Tinggi Raja setelah
acara Seminar nasional.
Engkau hadir dalam
dunia mayaku..
Tidakkah kau
mengerti,
Ketika kau lama diam
Entah memendam apa
yang bergumul di hatimu
Atau memang kau tak
menginginkan itu?
Kadang aku berpikir,
dapatkah kita mendayung bersama tuk jalani hidup ini?
Dalam bahtera menuju
hidup yang abadi..
Engkau hadir dalam
dunia mayaku..
Aku selalu berusaha
menahan rindu..
Rindu yang sebenarnya
belum layak bersemayam di lubuk hati
Di balik layar
monitor kutatap wajahmu yang terurai senyum
Juga matamu yang
begitu teduh
Meski lisan tak mampu
bicara
Namun hati terus
bisikkan rangkaian pinta dan do’a
Untukmu nun jauh di sana.
Ketika cinta bertepuk sebelah tangan itu rasanya memang sakit.
Setiap hari berharap agar cinta itu sama-sama merasakannya.
Bahkan setiap detik tak lepas dari bayangnya. Lain halnya ketika seseorang tak mengharapkan cinta itu hadir dari orang lain yang telah memberanikan diri untuk mengungkapkan isi hatinya,
tentu hati sendiri tak bisa dipaksa. Meski berkali-kali telah ia coba namun mentoleransi
perjuangannya tetap saja tidak
bisa jika harus meluluhkan hati
sendiri. Dan ketika cinta ingin diciptakan dari dua insan yang tak saling
mengenal, diharapkan untuk menjalin cinta, belajar mencintai untuk jangka waktu
yang.. emm bukan jangka waktu lagi ukurannya, melainkan taruhannya adalah hidup
dunia akhirat. Begitulah dinamika kehidupan, irama cinta, melodi kasih sayang,
nada setiap jeda, nafas yang menghembuskan ujian dan cobaan. Semua itu adalah
jalan hidup yang –mungkin- setiap orang pernah
mengalaminya.
Di sisi
lain kehidupan, ada cinta yang sama-sama tercipta, tumbuh, dan berbunga. Naqiy Ziya’il ‘Adn dan Theiba Azzabad.
Setengah tahun terakhir hubungan mereka semakin dekat. Seiring berjalannya
waktu, meski masih menanti mitsaqan ghalidza yang memperkokoh keduanya,
cinta itu akan memperkuat akarnya sebelum tumbuh dan memberikan generasi
berikutnya. Tentu, calon generasi yang hebat untuk agama…
Jakarta, 19-10-2013
23.54
Komentar
Posting Komentar