Enam tahun yang lalu aku memiliki impian
suatu saat nanti aku ingin menemuinya. Menimba ilmu disana. Selangkah demi selangkah sudah
aku tempuh dalam waktu yang tidak singkat. Mengarungi samudera
perjuangan teriring derap keyakinan. Bahkan izin dari pa’e dan bu’e
serta khodimul ma’had telah aku kantongi sejak dua tahun sebelum wisuda
akhir. Keinginan itu semakin membara ketika waktu semakin dekat. 80
persen bekal telah aku persiapkan. Tinggal mengikuti ujian di Kedubes
Mesir di Jakarta. Tapi apa boleh dikata, manusia hanya bisa merencanakan
tapi tetaplah Sang Maha Kuasa yang menentukan.
Hari-hari terakhir menjelang Ujian Nasional,
teman-temanku sibuk untuk mendaftar kuliyah. Ada yang mencari beasiswa,
ada yang ikut ujian tulis, dan banyak lagi jalur-jalur masuk perguruan
tinggi yang akan mereka tempuh. Sementara aku tetap stay
ditempat. Tidak peduli dengan keributan mereka. Aku masih asyik dengan
duniaku menyambut UN. Karena aku juga merasa tidak bakal kuliyah di
Indonesia. Persiapanku dari dulu hanya untuk hijrah di Negeri Musa.
Dengan keyakinanku yang begitu besar sampai-sampai menafikan semuanya.
Siapa yang menyangka bahwa takdirku berbalik 180 derajat dari rencanaku.
Semai daun-daun emas merangkai disetiap
uraian tawa. Serat kecoklatan dahan-dahan kering meratap disetiap
cercahan tangis. Lambaian awan hitam nan pekat dengan santun mengelus
pandangan insan yang sedang merenungi nasibnya. Demikian lincah sang
waktu berlari. Hingga aku pun tak menyadari bahwa ternyata aku telah
dikendalikan oleh derasnya arus takdir yang membawaku pada telapak masa
depan.
Siang yang begitu agak redup. Awan tebal
menyelimuti langit. Di koridor depan kelasku XII IPA 3 aku dipanggil
oleh Wakil Kepala Kemahasiswaan, beliau memberikan tawaran beasiswa,
yang menurutku tidak semua siswa berhak untuk mengambil beasiswa ini,
hanya siswa-siswa teladan, berprestasi baik dalam bidang akademik maupun
non akademik, dan peringkat lima besar paralel selama lima semester.
Sesuai dengan persyaratan dalam juklak pengajuan beasiswa tersebut. Ya,
Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) dari Kementrian Agama RI.
Tanpa berfikir panjang aku mengiyakannya. Saat itu aku tidak ingat
tentang Cairoku, Nilku, Piramidku, dan semua tentang Mesir. Walaupun aku
belum mengerti mengenai beasiswa itu, tapi entah mengapa aku seakan
terhipnotis oleh diriku sendiri yang spontan memberi jawaban tanpa
kusadari itu.
Sesampai ku di rumah, aku ceritakan semua yang terjadi hari itu kepada pa’e dan bu’e. Awalnya not responding. Mereka
berfikir bahwa di Indonesia itu meskipun beasiswa tapi masih
membutuhkan biaya yang banyak, yang tentunya menjadi beban untuk mereka.
Pa’e ngendikan, “wes tho nduk, nek ketone ora mungkin yo
mondok wae.. sinau agomo. Wong kuliah iku yo mbutuhne duit okeh”. Aku
sama sekali tidak peduli itu. Aku merasa itu kurang menantang. Aku
selalu terngiang akan keinginanku untuk pergi ke Mesir melihat Nil dan
piramid yang indah dan Fir’aun yang legendaris. Aku teringat kata
pakyaiku, “Lakukanlah hal besar untuk menjadi orang besar..
lakukanlah hal istimewa untuk menjadi orang yg istimewa.. lakukanlah hal
luar biasa untuk menjadi orang yg luar biasa. Namun, jangan lupa
ikhtiyar, menejemen logika, dan menejemen spiritual. Ketika ketiganya
disatukan maka hasilnya MIN HAITSU LAA YAHTASIB. Insya Allah..”. dan aku
yakin akan hal itu.
Kuredam sementara dan menunggu waktu yang
tepat untuk menjelaskannya kemudian. Hari berikutnya setelah aku
mengerti seluk beluk, prosedur, dan semuanya tentang beasiswa itu, aku
mulai meyakinkan pa’e dan bu’e. Dan terimakasih Tuhan
telah meluluhkan hatinya. Selama ini yang mereka khawatirkan hanya biaya
yang mungkin nantinya akan menjadi beban buat mereka. Meskipun pa’e masih diam. Tidak sedikitpun berempati untuk planning
masa depanku ini. Dengan bismillah aku mengambil keputusan untuk
memilih fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, jurusan Ilmu
Keperawatan.
Sempat berfikir untuk pindah pilihan ke
jurusan yang berbasis keagamaan, karena dari pesantren sendiri yang akan
mengambil jurusan kesehatan di Perguruan Tinggi yang sama ada delapan
orang termasuk aku, sehingga ustadz kami menyarankan untuk ada yang ke
Perguruan Tinggi lain dengan alasan mengurangi persaingan dari pesantren
sendiri. Aku pun mengatakan ini pada bu’e, dan sebenarnya bu’e pun tidak setuju.
Adzan dzuhur berkumandang. Hatiku bergetar.
Masih bimbang akan keputusan ini. Padahal siang ini berkas-berkas harus
dikumpulkan untuk dikirm ke KanWil, Semarang. Tiba-tiba bu’e menasehatiku. kalimat bu’e
kali ini sudah sangat menentramkan hatiku. Dan aku merasa tidak salah
memilih kuliah di fakultas dan jurusan itu. Mereka bahagia dengan apa
yang aku tempuh ini, lebih-lebih pilihanku untuk masuk di fakultas
tersebut merupakan keinginan bu’e secara tersirat beliau
sampaikan. Meskipun beliau agak keberatan jika aku menuntut ilmu di bumi
hijrah yang begitu jauh, tapi lebih berat lagi jika aku nekat
meninggalkan tanah air.
Beliau meyakinkanku akan pilihan sebelumnya. Aku merasa aku akan lebih bahagia jika aku dapat membahagiakan bu’e dan pa’e. Aku
ambil formulir yang akan aku buang tadi, kemudian aku selipkan lagi.
Kali ini keyakinanku sudah bulat. Ya. Aku semakin yakin pilihan pertama
dengan ridho pa’e dan bu’e.
Semerbak cinta harumkan nafas kehidupan.
Warnai kerlap-kerlip jiwa sang pujangga hati. Bernada tak bersuara.
Berbisik tak berirama. Celoteh si pipit ikut cerahkan pagi ini. Di ufuk
timur, senyum sang surya menyapa dunia. Demi Dzat yang Maha Cinta…
Sungguh indah insan dicipta. Rabu, 4 Mei 2011, yang ada di fikiranku
hanya ujian, ujian, dan ujian. Pagi itu aku bersiap untuk pergi ke
Semarang, tempat akan dilaksanakannya ujian seleksi PBSB untuk wilayah
Jawa Tengah. Hari berikutnya. Selama kurang lebih delapan jam ujian
berlangsung. Terdiri dari berbagai materi, yaitu psikotes, mipa, bahasa
inggris, dan kepesantrenan. Dalam keadaan tubuh yang kurang fit, status
kesehatan menurun, dan tidak nafsu makan, aku tetap berusaha yang
terbaik untuk ujian ini. Kesempatan tidak datang dua kali. Kalimat itu
yang selalu mendorongku untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Di tngah perjalananku meniti tangga-tangga iman, tertoreh sejuta rasa yang kian menjubal di setiap sudut jiwaku. Terlukis dzikriyah hulwiyyah
(kenangan manis_red) yang senantiasa mencipta senyum simpul diantara
kedua pipiku. Terbendung rintihan-rintihan qolbu yang mengoyak disetiap
titik darah yang mengalir deras menelusuri jaringan tubuh. Hingga luapan
mutiara menetes perlahan. Tertanam benih kesabaran yang belum
sepenuhnya, berharap menjadi pewujud mimpi-mimpi paling indah yang akan
mengukir papan takdirku. Selang beberapa hari setelah ujian
dilaksanakan, tentu harap-harap cemas. Dalam hati sangat berharap aku
lolos ujian itu. Setiap detik yang terlewatkan dalam munajatku, tidak
pernah tidak berangan akan kesuksesan itu, bahkan mengalir di setiap
do’a yang ku panjatkan pada-Nya. Aku percaya ketika segala pekerjaan
dibarengi dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hasilnya adalah min haitsu laa yahtasib (tidak dapat disangka-sangka_red). Tidak
hanya ucapan, namun setiap langkah diiringi dengan Asma Allah Yang
Rohman dan Rohim. Inilah yang dinamakan KOMPETITIF MAGIC POWER !!
Salah satu kado terindah yang pernah kudapatkan dalam catatan hidupku. Anugerah Allah Sang Maha Kasih. Juga barakah do’a pa’e dan bu’e,
pak guru dan bu guruku, pakyai dan bunyaiku. Aku lulus seleksi PBSB di
Perguruan Tinggi Negeri, di Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan, jurusan Ilmu Keperawatan. Dengan penuh rasa bahagia ku
ceritakan semua keberuntungan yang menghampiriku kepada pa’e dan bu’e.
Berapa kali air mata ini mengukir
Sebuah arti kata syukur
Yang selalu terwakili kata frasa
Dari kisah debu lama
Seharusnya tak berarti….berakhir
Begitu saja….begitu saja…..
Sebuah arti kata syukur
Yang selalu terwakili kata frasa
Dari kisah debu lama
Seharusnya tak berarti….berakhir
Begitu saja….begitu saja…..
Percuma bertanya….bila tak ada jawab
Meski malam purnama sejeda tiada, Namun…
Air mata saat kilau itu mulai memancar
Bentang ribu getar suara
Saat lembut itu hilang….
Sebuah harap…
Hingga berbalut dalam juang
Dengan begitu banyak nafas terlewat
Hingga semua tak mengerti
Semua terbalut dalam teka-teki
Rasa ketakutan yang tak berarti
Coba bertahan menanti hal yang agak pasti
Meski malam purnama sejeda tiada, Namun…
Air mata saat kilau itu mulai memancar
Bentang ribu getar suara
Saat lembut itu hilang….
Sebuah harap…
Hingga berbalut dalam juang
Dengan begitu banyak nafas terlewat
Hingga semua tak mengerti
Semua terbalut dalam teka-teki
Rasa ketakutan yang tak berarti
Coba bertahan menanti hal yang agak pasti
Kini seakan terhenti
Hujan itu untuk mereka
Biar panasnya dunia meraja
Ketika aku..
Yang berasa akan sebuah frasa
Dan debu itu bersamaku
Menanti terlihat dalam purnama
Hanya aku dan citaku
Bukan mereka….
Hujan itu untuk mereka
Biar panasnya dunia meraja
Ketika aku..
Yang berasa akan sebuah frasa
Dan debu itu bersamaku
Menanti terlihat dalam purnama
Hanya aku dan citaku
Bukan mereka….
“Subhanallah walhamdulillah..”, sebut bu’e setelah mendengar khabar itu. Bu’e seakan
tidak percaya. Berkali-kali aku meyakinkan beliau. Tit tit.. tit tit..
handphoneku berdering. Satu sms diterima dari ustadzku, “selamat ya…”,
isi sms itu. Beruntun pesan dari teman-temanku pun memberi selamat.
Aku ingat saat dirimu menatapku dengan lembut
Dan berkata,”citamu merupakan mahakarya indah penuh makna
Yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata
Hanya bisa dirasakan dengan hati yang terdalam
Dan perjuangan yang tiada akhir”
Wahai citaku….
@@@
Tiba hari keberangkatan menuju kota
metropolitan. Ya, Jakarta. Bumi hijrahku. Dimana aku akan menghabiskan
kurang lebih empat tahun untuk melanjutkan studi S1. Semerbak
cintanya yang tiba2 menyusup tiap membayang. Bukan tentu perasaan ini.
Entah hati yang bagaimana, mungkin menjadi sandarannya. Ketika hari itu
tiba dengan detakan masanya, siap jalani moment yang sekian lama
mengendap dalam pikiran. Calon tenaga medis???? Hmm ternyata diriku belum
menyadari dengan sepenuhnya bahwa aku adalah calon perawat. Ya Aziiz…
bagaimana aku menghadapinya? Lagi-lagi bayangan tentang mesir melintas.
Tapi kini aku harus fokus dengan kenyataan takdir yang sudah dituliskan
oleh-Nya. Dan merubah persepsi diri bahwa Allah pasti memiliki sekenario
yang lebih indah dibalik semua itu. lebih Tahu apa yang aku butuhkan,
bukan memenuhi apa yang aku inginkan.
Mengutip dari bukunya seorang ahli tafsir
terkenal, Prof. Dr. Quraisy Shihab, “Tariklah pelajaran dari setetes
batu yang sedemikian kokoh, lalu dapat berlubang walau hanya dibasahi
oleh air setetes demi setetes”. Mungkin pepatah ini patut aku jadikan
motivasi untuk melanjutkan langkah mengukir cita seindah asa. Aku yakin
meskipun aku tidak ada persiapan bekal untuk ke arah sana, jika aku
berusaha semaksimal mungkin, maka batu itu akan berlubang sedikit demi
sedikit.
Satu tahun di bumi rantau. Sekarang tahun
kedua. Target tahun ini adalah menjadi santri di salah satu pondok
pesantren. Dulu namanya Darus Sunnah High Institute for Hadith Sciences. Tapi sekarang telah berganti nama menjadi Darus Sunnah International Institute for
Hadits Science. Pondok pesantren yang khusus menekuni ilmu hadits. Prof.
Dr Mustafa Ali Yakub, MA. sebagai pendiri sekaligus pengasuh. Beliau
adalah seorang imam besar masjid Istiqlal, seorang guru besar ilmu
hadits. Wisudawan dan wisudawati yang lulus dari pondok pesantren
tersebut berhak mendapat ijazah Licence. Dengan berbagai pertimbangan,
aku mutuskan untuk ikut seleksi penerimaan mahasantri baru. Seleksinya
sangat ketat. Ada ujian tulis dan lisan. Namun inilah kesempatanku
mewujudkan cita-citaku yang sempat terkubur, tapi tidak terlalu dalam.
Bulan puasa, hari ke tigabelas aku mengikuti
ujian. Dari 200 orang yang mengikuti seleksi ini, 45 orang yang
diterima, termasuk aku. Ini kali kedua anugerah terbesar dalam hidupku.
Tiada henti rasa syukurku pada-Nya. Menghantarkanku di Ibu Kota bukan
berarti memupuskan cita-cita awalku, namun Dia memberikan yang lebih
dari apa yang aku inginkan. Dia lebih Tahu apa yang aku butuhkan, bukan memenuhi apa yang aku inginkan
Komentar
Posting Komentar