Tuhan Lebih Tahu Apa yang Kita Butuhkan


“Egypt… I will come…”, kalimat ini yang selalu membayang dalam fikiranku selama aku mengais ilmu di madrasah tercinta Raudlatul Ulum Guyangan Pati. Keinginan itu muncul sejak aku kelas 2 MTs. Entah mengapa bertahun-tahun aku naksir dengan salah satu negeri, dimana sosok yang dikenal dengan bapak pluralisme pernah menjadi orang nomer satu di Indonesia, sebut saja Gus Dur, beliau pernah menuntut ilmu di negeri Fir’aun itu namun tidak betah karena menurut beliau ilmu-ilmu yang dipelajari di sana tidak jauh beda dengan apa yang telah dipelajari di Jawa. Sehingga hanya dalam waktu dua tahun beliau di Cairo kemudian memutuskan untuk pindah ke Chicago.
Enam tahun yang lalu aku memiliki impian suatu saat nanti aku ingin menemuinya. Menimba ilmu disana. Selangkah demi selangkah sudah aku tempuh dalam waktu yang tidak singkat. Mengarungi samudera perjuangan teriring derap keyakinan. Bahkan izin dari pa’e dan bu’e serta khodimul ma’had telah aku kantongi sejak dua tahun sebelum wisuda akhir. Keinginan itu semakin membara ketika waktu semakin dekat. 80 persen bekal telah  aku persiapkan. Tinggal mengikuti ujian di Kedubes Mesir di Jakarta. Tapi apa boleh dikata, manusia hanya bisa merencanakan tapi tetaplah Sang Maha Kuasa yang menentukan.
Hari-hari terakhir menjelang Ujian Nasional, teman-temanku sibuk untuk mendaftar kuliyah. Ada yang mencari beasiswa, ada yang ikut ujian tulis, dan banyak lagi jalur-jalur masuk perguruan tinggi yang akan mereka tempuh. Sementara aku tetap stay ditempat. Tidak peduli dengan keributan mereka. Aku masih asyik dengan duniaku menyambut UN. Karena aku juga merasa tidak bakal kuliyah di Indonesia. Persiapanku dari dulu hanya untuk hijrah di Negeri Musa. Dengan keyakinanku yang begitu besar sampai-sampai menafikan semuanya. Siapa yang menyangka bahwa takdirku berbalik 180 derajat dari rencanaku.
Semai daun-daun emas merangkai disetiap uraian tawa. Serat kecoklatan dahan-dahan kering meratap disetiap cercahan tangis. Lambaian awan hitam nan pekat dengan santun mengelus pandangan insan yang sedang merenungi nasibnya. Demikian lincah sang waktu berlari. Hingga aku pun tak menyadari bahwa ternyata aku telah dikendalikan oleh derasnya arus takdir yang membawaku pada telapak masa depan.
Siang yang begitu agak redup. Awan tebal menyelimuti langit. Di koridor depan kelasku XII IPA 3 aku dipanggil oleh Wakil Kepala Kemahasiswaan, beliau memberikan tawaran beasiswa, yang menurutku tidak semua siswa berhak untuk mengambil beasiswa ini, hanya siswa-siswa teladan, berprestasi baik dalam bidang akademik maupun non akademik, dan peringkat lima besar paralel selama lima semester. Sesuai dengan persyaratan dalam juklak pengajuan beasiswa tersebut. Ya, Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) dari Kementrian Agama RI. Tanpa berfikir panjang aku mengiyakannya. Saat itu aku tidak ingat tentang Cairoku, Nilku, Piramidku, dan semua tentang Mesir. Walaupun aku belum mengerti mengenai beasiswa itu, tapi entah mengapa aku seakan terhipnotis oleh diriku sendiri yang spontan memberi jawaban tanpa kusadari itu.
Sesampai ku di rumah, aku ceritakan semua yang terjadi hari itu kepada pa’e dan bu’e. Awalnya not responding. Mereka berfikir bahwa di Indonesia itu meskipun beasiswa tapi masih membutuhkan biaya yang banyak, yang tentunya menjadi beban untuk mereka. Pa’e ngendikan, “wes tho nduk, nek ketone ora mungkin yo mondok wae.. sinau agomo. Wong kuliah iku yo mbutuhne duit okeh”. Aku sama sekali tidak peduli itu. Aku merasa itu kurang menantang. Aku selalu terngiang akan keinginanku untuk pergi ke Mesir melihat Nil dan piramid yang indah dan Fir’aun yang legendaris. Aku teringat kata pakyaiku, “Lakukanlah hal besar untuk menjadi orang besar.. lakukanlah hal istimewa untuk menjadi orang yg istimewa.. lakukanlah hal luar biasa untuk menjadi orang yg luar biasa. Namun, jangan lupa ikhtiyar, menejemen logika, dan menejemen spiritual. Ketika ketiganya disatukan maka hasilnya MIN HAITSU LAA YAHTASIB. Insya Allah..”. dan aku yakin akan hal itu.
Kuredam sementara dan menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskannya kemudian. Hari berikutnya setelah aku mengerti seluk beluk, prosedur, dan semuanya tentang beasiswa itu, aku mulai meyakinkan pa’e dan bu’e. Dan terimakasih Tuhan telah meluluhkan hatinya. Selama ini yang mereka khawatirkan hanya biaya yang mungkin nantinya akan menjadi beban buat mereka.  Meskipun pa’e masih diam. Tidak sedikitpun berempati untuk planning masa depanku ini. Dengan bismillah aku mengambil keputusan untuk memilih fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan, jurusan Ilmu Keperawatan.
Sempat berfikir untuk pindah pilihan ke jurusan yang berbasis keagamaan, karena dari pesantren sendiri yang akan mengambil jurusan kesehatan di Perguruan Tinggi yang sama ada delapan orang termasuk aku, sehingga ustadz kami menyarankan untuk ada yang ke Perguruan Tinggi lain dengan alasan mengurangi persaingan dari pesantren sendiri. Aku pun mengatakan ini pada bu’e, dan sebenarnya bu’e pun tidak setuju.
Adzan dzuhur berkumandang. Hatiku bergetar. Masih bimbang akan keputusan ini. Padahal siang ini berkas-berkas harus dikumpulkan untuk dikirm ke KanWil, Semarang. Tiba-tiba bu’e menasehatiku. kalimat bu’e kali ini sudah sangat menentramkan hatiku.  Dan aku merasa tidak salah memilih kuliah di fakultas dan jurusan itu. Mereka bahagia dengan apa yang aku tempuh ini, lebih-lebih pilihanku untuk masuk di fakultas tersebut merupakan keinginan bu’e secara tersirat beliau sampaikan. Meskipun beliau agak keberatan jika aku menuntut ilmu di bumi hijrah yang begitu jauh, tapi lebih berat lagi jika aku nekat meninggalkan tanah air.
Beliau meyakinkanku akan pilihan sebelumnya. Aku merasa aku akan lebih bahagia jika aku dapat membahagiakan bu’e dan pa’e. Aku ambil formulir yang akan aku buang tadi, kemudian aku selipkan lagi. Kali ini keyakinanku sudah bulat. Ya. Aku semakin yakin pilihan pertama dengan ridho pa’e dan bu’e.
Semerbak cinta harumkan nafas kehidupan. Warnai kerlap-kerlip jiwa sang pujangga hati. Bernada tak bersuara. Berbisik tak berirama. Celoteh si pipit ikut cerahkan pagi ini. Di ufuk timur, senyum sang surya menyapa dunia. Demi Dzat yang Maha Cinta… Sungguh indah insan dicipta. Rabu, 4 Mei 2011, yang ada di fikiranku hanya ujian, ujian, dan ujian. Pagi itu aku bersiap untuk pergi ke Semarang, tempat akan dilaksanakannya ujian seleksi PBSB untuk wilayah Jawa Tengah. Hari berikutnya. Selama kurang lebih delapan jam ujian berlangsung. Terdiri dari berbagai materi, yaitu psikotes, mipa, bahasa inggris, dan kepesantrenan. Dalam keadaan tubuh yang kurang fit, status kesehatan menurun, dan tidak nafsu makan, aku tetap berusaha yang terbaik untuk ujian ini. Kesempatan tidak datang dua kali. Kalimat itu yang selalu mendorongku untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Di tngah perjalananku meniti tangga-tangga iman, tertoreh sejuta rasa yang kian menjubal di setiap sudut jiwaku. Terlukis dzikriyah hulwiyyah (kenangan manis_red) yang senantiasa mencipta senyum simpul diantara kedua pipiku. Terbendung rintihan-rintihan qolbu yang mengoyak disetiap titik darah yang mengalir deras menelusuri jaringan tubuh. Hingga luapan mutiara menetes perlahan. Tertanam benih kesabaran yang belum sepenuhnya, berharap menjadi pewujud mimpi-mimpi paling indah yang akan mengukir papan takdirku. Selang beberapa hari setelah ujian dilaksanakan, tentu harap-harap cemas. Dalam hati sangat berharap aku lolos ujian itu. Setiap detik yang terlewatkan dalam munajatku, tidak pernah tidak berangan akan kesuksesan itu, bahkan mengalir di setiap do’a yang ku panjatkan pada-Nya. Aku percaya ketika segala pekerjaan dibarengi dengan bismillahirrahmanirrahim, maka hasilnya adalah min haitsu laa yahtasib (tidak dapat disangka-sangka_red). Tidak hanya ucapan, namun setiap langkah diiringi dengan Asma Allah Yang Rohman dan Rohim. Inilah yang dinamakan KOMPETITIF  MAGIC  POWER !!
Salah satu kado terindah yang pernah kudapatkan dalam catatan hidupku. Anugerah Allah Sang Maha Kasih. Juga barakah do’a pa’e dan bu’e, pak guru dan bu guruku, pakyai dan bunyaiku. Aku lulus seleksi PBSB di Perguruan Tinggi Negeri, di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, jurusan Ilmu Keperawatan. Dengan penuh rasa bahagia ku ceritakan semua keberuntungan yang menghampiriku kepada pa’e dan bu’e.
Berapa kali air mata ini mengukir
Sebuah arti kata syukur
Yang selalu terwakili kata frasa
Dari kisah debu lama
Seharusnya tak berarti….berakhir
Begitu saja….begitu saja…..
Percuma bertanya….bila tak ada jawab
Meski malam purnama sejeda tiada, Namun…
Air mata saat kilau itu mulai memancar
Bentang ribu getar suara
Saat lembut itu hilang….
Sebuah harap…
Hingga berbalut dalam juang
Dengan begitu banyak nafas terlewat
Hingga semua tak mengerti
Semua terbalut dalam teka-teki
Rasa ketakutan yang tak berarti
Coba bertahan menanti hal yang agak pasti
Kini seakan terhenti
Hujan itu untuk mereka
Biar panasnya dunia meraja
Ketika aku..
Yang berasa akan sebuah frasa
Dan debu itu bersamaku
Menanti terlihat dalam purnama
Hanya aku dan citaku
Bukan mereka….
“Subhanallah walhamdulillah..”, sebut bu’e setelah mendengar khabar itu. Bu’e seakan tidak percaya. Berkali-kali aku meyakinkan beliau. Tit tit.. tit tit.. handphoneku berdering. Satu sms diterima dari ustadzku, “selamat ya…”, isi sms itu. Beruntun pesan dari teman-temanku pun memberi selamat.
Aku ingat saat dirimu menatapku dengan lembut
Dan berkata,”citamu merupakan mahakarya indah penuh makna
Yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata
Hanya bisa dirasakan dengan hati yang terdalam
Dan perjuangan yang tiada akhir”
Wahai citaku….
@@@
Tiba hari keberangkatan menuju kota metropolitan. Ya, Jakarta. Bumi hijrahku. Dimana aku akan menghabiskan kurang lebih empat tahun untuk melanjutkan studi S1. Semerbak cintanya yang tiba2 menyusup tiap membayang. Bukan tentu perasaan ini. Entah hati yang bagaimana, mungkin menjadi sandarannya. Ketika hari itu tiba dengan detakan masanya, siap jalani moment yang sekian lama mengendap dalam pikiran. Calon tenaga medis???? Hmm ternyata diriku belum menyadari dengan sepenuhnya bahwa aku adalah calon perawat. Ya Aziiz… bagaimana aku menghadapinya? Lagi-lagi bayangan tentang mesir melintas. Tapi kini aku harus fokus dengan kenyataan takdir yang sudah dituliskan oleh-Nya. Dan merubah persepsi diri bahwa Allah pasti memiliki sekenario yang lebih indah dibalik semua itu. lebih Tahu apa yang aku butuhkan, bukan memenuhi apa yang aku inginkan.
Mengutip dari bukunya seorang ahli tafsir terkenal, Prof. Dr. Quraisy Shihab, “Tariklah pelajaran dari setetes batu yang sedemikian kokoh, lalu dapat berlubang walau hanya dibasahi oleh air setetes demi setetes”. Mungkin pepatah ini patut aku jadikan motivasi untuk melanjutkan langkah mengukir cita seindah asa. Aku yakin meskipun aku tidak ada persiapan bekal untuk ke arah sana, jika aku berusaha semaksimal mungkin, maka batu itu akan berlubang sedikit demi sedikit.
Satu tahun di bumi rantau. Sekarang tahun kedua. Target tahun ini adalah menjadi santri di salah satu pondok pesantren. Dulu namanya Darus Sunnah High Institute for Hadith Sciences. Tapi sekarang telah berganti nama menjadi Darus Sunnah International Institute for Hadits Science. Pondok pesantren yang khusus menekuni ilmu hadits. Prof. Dr Mustafa Ali Yakub, MA. sebagai pendiri sekaligus pengasuh. Beliau adalah seorang imam besar masjid Istiqlal, seorang guru besar ilmu hadits. Wisudawan dan wisudawati yang lulus dari pondok pesantren tersebut berhak mendapat ijazah Licence. Dengan berbagai pertimbangan, aku mutuskan untuk ikut seleksi penerimaan mahasantri baru. Seleksinya sangat ketat. Ada ujian tulis dan lisan. Namun inilah kesempatanku mewujudkan cita-citaku yang sempat terkubur, tapi tidak terlalu dalam.
Bulan puasa, hari ke tigabelas aku mengikuti ujian.  Dari 200 orang yang mengikuti seleksi ini, 45 orang yang diterima, termasuk aku. Ini kali kedua anugerah terbesar dalam hidupku. Tiada henti rasa syukurku pada-Nya. Menghantarkanku di Ibu Kota bukan berarti memupuskan cita-cita awalku, namun Dia memberikan yang lebih dari apa yang aku inginkan. Dia lebih Tahu apa yang aku butuhkan, bukan memenuhi apa yang aku inginkan

Komentar